Sajak-sajak Alex R. Nainggolan
Sajak-sajak Alex R. Nainggolan
Datang Pergi
selalu ada orang-orang yang datang pergi
singgah di kepala
meninggalkan sedikit tanda
catatan alamat, nomor telepon, atau kisah-kisah
sedih yang katanya tak pernah dibagi kepada orang lain
dan hanya padaku mereka bercerita
tapi aku melulu merasa sendiri
kehilangan pada sesuatu yang tak pernah
lengkap aku dekap. dan mereka cuma hadir
sepintas-sepintas. merupa kenangan memar yang mudah pudar
ah, bagaimana bisa kuingat segalanya?
sementara selalu saja orang-orang datang dan pergi
merampas sebagian diriku
lalu lenyap dan menjauh
Jakarta, 26 Januari 2007
Kisah Sedih
barangkali ini sebuah kisah sedih
sebab sekian waktu aku abai pada suara tangis
membiarkan kau besar sendirian
menempuh kalut dalam laut hidup
yang acap dipenuhi dengan kecemasan
dan tahun kembali berganti
merobek segala pesakitan
sementara aku cuma berlalu
sudah jenuh untuk menunggu
maka bersama ransel yang lembap
aku lanjutkan perjalanan
semuanya cuma kisah sedih
yang kelak datang lagi
Jakarta, 26 Januari 2007
Paragraf Kehilangan
aku kehilangan dirimu
waktu membulat, nanar
lalu menggambar dirimu yang dulu
segalanya cuma denyar
yang tak sampai
meski aku telah lunglai
terkulai dengan tubuh gemetar
mestinya kusalami pintu hatimu
sampai benar-benar terbuka
dan aku lesap ke dalamnya
tapi kali ini tak kunjung kutemui
engkau
hanya yang lain,
bagaikan harapan dingin
rasanya terlalu percuma
segala tawa
tinggal cerita
Jakarta, 26 Januari 2007
Omong Kosong
dari sinilah segala bermula
omong kosong
dan kita hanyut di dalamnya
menulis usia atau bilangan tahun
segalanya penuh dengan lamunan
lalu kita menulisnya sebagai sebuah
kisah. berpura bahagia
seolah melulu indah
namun tubuh kita telah penuh
dengan omong kosong
taksempat bertanya
pada siapa bual ini datang lagi?
Jakarta, 2 Februari 2007
Lautan Jakarta
jakarta jadi laut
memungut air hujan
ngalir menggapai tubuh
rumah dan kesedihan
orang-orang bertahan dalam getir
apakah takdir atau mimpi buruk?
lautan jakarta
mimpi-mimpi mengapung
coklat air yang ngalir
tak surut-surut
memasuki lorong-lorong derita
kini semuanya memanggul larat
merapal doa
semoga tak menjadi kaum nuh
yang durhaka
kapan lagi hujan turun?
langit mendung
puluhan ribu tatapan murung
di sisi jakarta
luka kembali pecah
semuanya tenggelam!
Jakarta, 3 Februari 2007
Ketika Air Meninggi
aku menulis puisi
ketika air meninggi
memasuki celah rumah
kerumun orang hanyut
barang-barang terapung
menatap genangan yang berbiak
aku menulis puisi
dengan suara teriakan, "banjir, banjir!"
tak ada yang bisa memaki
cuma mulut-mulut yang terkatur rapat
menahan gemetar dingin di dalam tubuh
Jakarta, 3 Februari 2007
Terjebak Air Banjir
- Hammad Ramadhan
engkau terjebak air banjir
berdiri menunggu dua malam
di ketinggian
tapi langit tak lagi biru
cuma mendung yang menggantung
aroma dingin menebar
matahari mati suri
berapa lama lagi air akan surut?
sebelum segalanya menyisa
bersama tumpukan lelah dan lumpur
engkau terjebak air banjir
ditikam kesunyian
tanpa komunikasi
listrik yang mati
telepon genggam yang mati
hujan mengguyur lagi
entah apa yang sedang kauperbuat sekarang?
sementara nyeri dingin air melulu tumbuh
berenang ke tepian hatimu
menyumbat ingatanku yang panjang padamu
ah, mengapa belum juga ada kabar darimu?
Jakarta, 3 Februari 2007
Nuh
barangkali engkau mesti menjadi nuh
berpura-pura tak sedih
membuat perahu di puncak kota ini
membiarkan hujan turun 40 hari 40 malam
menikmati bangunan yang terendam
tapi tak ada nuh
engkau tak bisa berpura-pura
cuma sedih yang singgah
hinggap ke dalam tubuh
di hadapan kota yang tenggelam
Jakarta, 3 Februari 2007
Palang Jalanan
kini cuma derasnya air
jalanan terpalang
engkau tak bisa pulang
menginap di jalanan
berharap air segera turun
meresap ke dalam tanah
terbawa ke ujung sungai
orang-orang menggelar tikar
duduk di sisi jalan
memandang air tergenang di depan
engkau tak bisa ke mana-mana
hanya berdoa
kapan banjir ini akan surut
dan hujan reda
Jakarta, 3 Februari 2007
Saluran Telepon yang Putus
tak ada lagi percakapan
semua saluran telepon putus
hanya kesunyian meradang
berkecambah di dalam dada
klik, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif
sementara hangat matahari
tak ada
semuanya gelap
tanpa cahaya
cuma
bekas genangan air
yang terus bertambah
Jakarta, 3 Februari 2007
Elegi Banjir
sebab kau mampatkan sungai dan selokan
sebagaimana juga pikiran kami
teracuni bertahun-tahun
maka kami tanggung limpahan air ini
tapi jerit demi jerit terus saja menjepit
tak kunjung menghilang
malahan gaungnya terus bergema
di setiap sudut jakarta
lalu kami mengungsi di tenda-tenda
melawan dinginnya udara malam hari
melawan sengitnya getir dingin
tangisan yang melulu terasa panjang
sebab kota ini dibangun dengan curiga
pun orang-orang yang tak peduli
kini air meluap sampai ke hati kami
menggenangi rumah bercampur airmata
Jakarta, 4 Februari 2007
Elegi Jakarta Malam Hari
sewa rumah belum dibayar
awal bulan yang tergulung
kembali aku mengapung
menjadi ikan berkawan dengan coklat air
sepanjang hari yang ditemui melulu keluh
duka yang terus tumbuh tak kunjung sembuh
hanya kesunyian yang meradang terus dikayuh
celaka serupa kaum nuh
Jakarta, 4 Februari 2007
Sketsa Rumah Kontrakan
sehabis istri sakit, si bayi panas
langit-langit rumah seperti terbuka
di sini, cuma ada lenguh pesakitan
panjang dan tak tuntas dibuka
mestinya, aku bisa menikmati
sedikit cahaya senja
dari balik jendela
lembar demi lembar
cuma mengabarkan
ketakutan
puisi yang ada mendadak mati
begitu tergesa membuka pagi
Jakarta, 4 Februari 2007
Bukan Hujan Itu
bukan hujan itu yang menggangguku
melainkan engkau
tengah duduk menatap alir air
keteduhan yang sirat
melahirkan embun baru
yang ingin kuteguk perlahan
biar lenyap rasa hausku
sementara kota kerap menggigil
ketika derasnya hujan memanggil
kitapun acap terserpih
menjauh dari keramaian yang menyerpih
andaikan hujan itu terus ada
mungkin aku akan tenggelam
bersama teduhnya tatapmu
tapi hujan berhenti
kegaduhan kota mendadak sunyi
banjir melebar
menggenang di sudut-sudut kota
Jakarta, 5 Februari 2007
Sepanjang Jalan
sepanjang jalan, sepanjang siang
hanya kudapati wajah-wajah cemas
orang-orang tidur di tenda pengungsian
berharap langit cerah
tapi melulu mendung yang menggulung
sepanjang jalan, sepanjang sedih
hanya kesakitan yang meronta
gagal mengakrabi cuaca
Jakarta, 5 Februari 2007
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah terakhir di Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005).
Alamat: Komplek DKI Jalan Bina Serasih I Blok A No. 7 Rt. 005/05 Cengkareng Barat Cengkareng Jakarta Barat 11730
Nomor telepon: 0856-91442740/ (021) 68746933
Nomor rekening:
Bank Mandiri Tanjungkarang
a.n. Alexander Robert
114-0003128645
Datang Pergi
selalu ada orang-orang yang datang pergi
singgah di kepala
meninggalkan sedikit tanda
catatan alamat, nomor telepon, atau kisah-kisah
sedih yang katanya tak pernah dibagi kepada orang lain
dan hanya padaku mereka bercerita
tapi aku melulu merasa sendiri
kehilangan pada sesuatu yang tak pernah
lengkap aku dekap. dan mereka cuma hadir
sepintas-sepintas. merupa kenangan memar yang mudah pudar
ah, bagaimana bisa kuingat segalanya?
sementara selalu saja orang-orang datang dan pergi
merampas sebagian diriku
lalu lenyap dan menjauh
Jakarta, 26 Januari 2007
Kisah Sedih
barangkali ini sebuah kisah sedih
sebab sekian waktu aku abai pada suara tangis
membiarkan kau besar sendirian
menempuh kalut dalam laut hidup
yang acap dipenuhi dengan kecemasan
dan tahun kembali berganti
merobek segala pesakitan
sementara aku cuma berlalu
sudah jenuh untuk menunggu
maka bersama ransel yang lembap
aku lanjutkan perjalanan
semuanya cuma kisah sedih
yang kelak datang lagi
Jakarta, 26 Januari 2007
Paragraf Kehilangan
aku kehilangan dirimu
waktu membulat, nanar
lalu menggambar dirimu yang dulu
segalanya cuma denyar
yang tak sampai
meski aku telah lunglai
terkulai dengan tubuh gemetar
mestinya kusalami pintu hatimu
sampai benar-benar terbuka
dan aku lesap ke dalamnya
tapi kali ini tak kunjung kutemui
engkau
hanya yang lain,
bagaikan harapan dingin
rasanya terlalu percuma
segala tawa
tinggal cerita
Jakarta, 26 Januari 2007
Omong Kosong
dari sinilah segala bermula
omong kosong
dan kita hanyut di dalamnya
menulis usia atau bilangan tahun
segalanya penuh dengan lamunan
lalu kita menulisnya sebagai sebuah
kisah. berpura bahagia
seolah melulu indah
namun tubuh kita telah penuh
dengan omong kosong
taksempat bertanya
pada siapa bual ini datang lagi?
Jakarta, 2 Februari 2007
Lautan Jakarta
jakarta jadi laut
memungut air hujan
ngalir menggapai tubuh
rumah dan kesedihan
orang-orang bertahan dalam getir
apakah takdir atau mimpi buruk?
lautan jakarta
mimpi-mimpi mengapung
coklat air yang ngalir
tak surut-surut
memasuki lorong-lorong derita
kini semuanya memanggul larat
merapal doa
semoga tak menjadi kaum nuh
yang durhaka
kapan lagi hujan turun?
langit mendung
puluhan ribu tatapan murung
di sisi jakarta
luka kembali pecah
semuanya tenggelam!
Jakarta, 3 Februari 2007
Ketika Air Meninggi
aku menulis puisi
ketika air meninggi
memasuki celah rumah
kerumun orang hanyut
barang-barang terapung
menatap genangan yang berbiak
aku menulis puisi
dengan suara teriakan, "banjir, banjir!"
tak ada yang bisa memaki
cuma mulut-mulut yang terkatur rapat
menahan gemetar dingin di dalam tubuh
Jakarta, 3 Februari 2007
Terjebak Air Banjir
- Hammad Ramadhan
engkau terjebak air banjir
berdiri menunggu dua malam
di ketinggian
tapi langit tak lagi biru
cuma mendung yang menggantung
aroma dingin menebar
matahari mati suri
berapa lama lagi air akan surut?
sebelum segalanya menyisa
bersama tumpukan lelah dan lumpur
engkau terjebak air banjir
ditikam kesunyian
tanpa komunikasi
listrik yang mati
telepon genggam yang mati
hujan mengguyur lagi
entah apa yang sedang kauperbuat sekarang?
sementara nyeri dingin air melulu tumbuh
berenang ke tepian hatimu
menyumbat ingatanku yang panjang padamu
ah, mengapa belum juga ada kabar darimu?
Jakarta, 3 Februari 2007
Nuh
barangkali engkau mesti menjadi nuh
berpura-pura tak sedih
membuat perahu di puncak kota ini
membiarkan hujan turun 40 hari 40 malam
menikmati bangunan yang terendam
tapi tak ada nuh
engkau tak bisa berpura-pura
cuma sedih yang singgah
hinggap ke dalam tubuh
di hadapan kota yang tenggelam
Jakarta, 3 Februari 2007
Palang Jalanan
kini cuma derasnya air
jalanan terpalang
engkau tak bisa pulang
menginap di jalanan
berharap air segera turun
meresap ke dalam tanah
terbawa ke ujung sungai
orang-orang menggelar tikar
duduk di sisi jalan
memandang air tergenang di depan
engkau tak bisa ke mana-mana
hanya berdoa
kapan banjir ini akan surut
dan hujan reda
Jakarta, 3 Februari 2007
Saluran Telepon yang Putus
tak ada lagi percakapan
semua saluran telepon putus
hanya kesunyian meradang
berkecambah di dalam dada
klik, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif
sementara hangat matahari
tak ada
semuanya gelap
tanpa cahaya
cuma
bekas genangan air
yang terus bertambah
Jakarta, 3 Februari 2007
Elegi Banjir
sebab kau mampatkan sungai dan selokan
sebagaimana juga pikiran kami
teracuni bertahun-tahun
maka kami tanggung limpahan air ini
tapi jerit demi jerit terus saja menjepit
tak kunjung menghilang
malahan gaungnya terus bergema
di setiap sudut jakarta
lalu kami mengungsi di tenda-tenda
melawan dinginnya udara malam hari
melawan sengitnya getir dingin
tangisan yang melulu terasa panjang
sebab kota ini dibangun dengan curiga
pun orang-orang yang tak peduli
kini air meluap sampai ke hati kami
menggenangi rumah bercampur airmata
Jakarta, 4 Februari 2007
Elegi Jakarta Malam Hari
sewa rumah belum dibayar
awal bulan yang tergulung
kembali aku mengapung
menjadi ikan berkawan dengan coklat air
sepanjang hari yang ditemui melulu keluh
duka yang terus tumbuh tak kunjung sembuh
hanya kesunyian yang meradang terus dikayuh
celaka serupa kaum nuh
Jakarta, 4 Februari 2007
Sketsa Rumah Kontrakan
sehabis istri sakit, si bayi panas
langit-langit rumah seperti terbuka
di sini, cuma ada lenguh pesakitan
panjang dan tak tuntas dibuka
mestinya, aku bisa menikmati
sedikit cahaya senja
dari balik jendela
lembar demi lembar
cuma mengabarkan
ketakutan
puisi yang ada mendadak mati
begitu tergesa membuka pagi
Jakarta, 4 Februari 2007
Bukan Hujan Itu
bukan hujan itu yang menggangguku
melainkan engkau
tengah duduk menatap alir air
keteduhan yang sirat
melahirkan embun baru
yang ingin kuteguk perlahan
biar lenyap rasa hausku
sementara kota kerap menggigil
ketika derasnya hujan memanggil
kitapun acap terserpih
menjauh dari keramaian yang menyerpih
andaikan hujan itu terus ada
mungkin aku akan tenggelam
bersama teduhnya tatapmu
tapi hujan berhenti
kegaduhan kota mendadak sunyi
banjir melebar
menggenang di sudut-sudut kota
Jakarta, 5 Februari 2007
Sepanjang Jalan
sepanjang jalan, sepanjang siang
hanya kudapati wajah-wajah cemas
orang-orang tidur di tenda pengungsian
berharap langit cerah
tapi melulu mendung yang menggulung
sepanjang jalan, sepanjang sedih
hanya kesakitan yang meronta
gagal mengakrabi cuaca
Jakarta, 5 Februari 2007
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah terakhir di Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005).
Alamat: Komplek DKI Jalan Bina Serasih I Blok A No. 7 Rt. 005/05 Cengkareng Barat Cengkareng Jakarta Barat 11730
Nomor telepon: 0856-91442740/ (021) 68746933
Nomor rekening:
Bank Mandiri Tanjungkarang
a.n. Alexander Robert
114-0003128645
0 Comments:
Post a Comment
<< Home